Sunday 2 May 2010

Pelarian paratunawisma

18.10.2009 aku berlarian bersama sekumpulan anak di tengah teriknya panas matahari yang seakan menjatuhkan mental para tentara caesar kala menaklukan galih di gaul.
Riuh gemuruh hentakan kaki bahkan mengalahkan bisingnya ribuan kuda besi yang melaju melintasi puluhan beton pencakar langit yang tampak kokoh seolah menjaga eksistensi nama baiknya.
Melewati setiap celah kosong di tengah hiruk pikuk sekumpulan orang dengan berbagai golongan, aku terus berlari bersama puluhan anak lainya, yang seakan-akan kami ini di anggap sekumpulan bandit-bandit kecil yang sengaja di pekerjakan oleh oknum-oknum kelas rendah yang mengatasnamakan dirinya sebagai dewa pelindung kami, tapi nyatanya menjadikan kami sebagai alat untuk mereka menghasilkan pundi-pundi emasnya.
Aku tak tau harus berlari kemana, bahkan aku tak mau di jadikan sebagai tahanan cilik dengan dugaan-dugaan yang aku sendiri tidak pernah melakukannya, memang kami ini hanyalah kaum sudra yang hanya di jadikan sebagai pelengkap bagi para kaum brahmana, ksatria dan waisya dalam menjalani roda kehidupannya.
Tiba-tiba dalam pelarianku, aku teringat akan teman-teman sebayaku yang pernah merasakan dinginnya berada di sebuah ruangan gelap, tanpa cahaya matahari yang biasa kulihat di kala pagi menjelang.
Mereka semua menjadi bulan-bulanan para aparat yang mengatasnamakan pelindung negara, dengan menggunakan sepotong bambu berukuran 70 cm layaknya pemain anggar yang menjulurkan floretnya lalu menjatuhkan lawanya, puluhan anak-anak tersebut menjadi alat peredam emosi, mulai dari cambukan, pukulan, sampai dengan tindakan asusila tak jarang kami terima. Memang itulah resiko kami sebagai tunawisma dalam mencari sebutir gandum yang nantinya akan kami bawa untuk ibu, ayah dan adik-adik kami. "aku harus bertahan hidup, yaa".
Selang beberapa saat aku melintas, kulihat tumpukan sampah di sebuah besi tua berbentuk persegi berwarna orange berukuran besar, dan sekejap terlintas dalam benaku untuk menyembunyikan fisikku kedalam besi tua tersebut dari mata orang-orang barbaar yang mengincar diriku untuk di jadikan tumbal dan berharap mereka segera menghentikan pengejarannya terhadapku.
"KEMANA PERGINYA BANDIT CILIK ITU!".
"CARI DAN TANGKAP BANDIT-BANDIT ITU!", ucap salah satu dari ke 2 aparatur yang mengejar diriku.
Akupun hanya bisa terdiam dan menahan bau busuk yang amat menyengat hidungku, kulihat keadaan di luar sana dengan sedikit celah yang bisa kulihat, ke 2 orang yang mengejarku tetap bersikukuh ingin menangkapku, apa daya aku hanya bisa menunggu dan mengamati ke 2 orang berkulit hitam itu dari celah-celah lingkup kosong yang membawa pikiranku jauh ke alam sadarku dan berharap ketika membuka mata kurasakan ini hanyalah sebuah mimpi bagiku.

"MAU LARI KEMANA KAU 3 BANDIT-BANDIT KECIL".
"KALI INI KAU TAKAN BISA LARI LAGI!", ucap salah satu dari ke 3 aparat tersebut.
"icang larilah, selamatkan adikmu".
"tapi dudung, bagaimana denganmu?, aku tak mau membiarkanmu menjadi bulan-bulanan mereka".
"sudahlah, adikmu itu lebih pantas di rumah dengan sedikit susu hangat di kala pagi hari".
"tapi".
"sudahlah cepat lari, biar aku yang menahan orang-orang ini", ucap dudung dengan mantab layaknya seorang harakiri.
"jaga dirimu teman".
Kemudian icang dan adiknya yang masih belia bergegas berlari bersamaan dengan pukulan yang mendarat tepat di tubuh sahabatnya dudung, yang tak berdaya melawan ke 3 orang berkulit hitam dengan berbekalkan tongkat hitam di salah satu lengannya.
Kini icangpun hanya bisa berharap, sahabatnya itu berada di sebuah enclave dengan di tumbuhi tumbuhan bakau yang biasa ia impikan tatkala fajar menyongsong dan mengenakan seragam ala kaveleri dengan kuda terbangnya.

Sudah cukup lama aku berada di tempat yang di penuhi dengan bau busuk yang amat mengganggu pernafasanku, rasa lapar dan haus mendera seluruh pencernaanku, bahkan sistem otak sarafku.
Aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari besi tua yang telah melindungiku dari para orang-orang barbaar yang menincar keberadaanku, dan kini kucoba memastikan bahwa aku berada dalam posisi yang menguntungkan untuk segera melarikan diri, tapi di sudut jalan di tepi kota ini kulihat mobil patroli milik orang-orang berkulit hitam lengkap dengan tongkat di salah satu lengannya, masih terpampang di sudut jalan ini.
Aku merasakan orang-orang tersebut masih bersikukuh untuk menangkap diriku dan teman-temanku, dengan penuh hati-hati ku berjalan di tepian kota, ku amati dengan penuh seksama orang-orang yang melintas di sudut jalan kota ini.
Selang beberapa saat tiba-tiba, seseorang menabraku dari belakang, kukira aku akan tertangkap, ternyata seorang anak yang usianya sama denganku di sertai dengan 1 orang anak yang masih belia, kira-kira berumur 3 sampai 4 tahun menghempaskan tubuhku ke tanah, kemudian ku amati dengan seksama, cara dia berpakaian sama denganku, dengan baju yang melebihi ukuran tubuhnya, dengan rambut ikalnya dan postur tubuh yang seolah-olah hanya kulit tipis yang membungkus seluruh tubuhku, layaknya penghuni guantanamo yang di pekerjakan paksa oleh pemerintah setempat.
Kemudian anak itu meyatakan maafnya kepadaku,
"maaf, aku sedang terburu-buru".
"tunggu, bisakah kau menjelaskan apa yang telah terjadi kepadamu".
"tapi salah seseorang dengan tubuh tinggi besar mengejarku, tidak ada waktu untuk kejelaskan padamu".
"ikutlah denganku, sepertinya tempat ini masih tidak aman untuk kita".
"maksudmu?", ucap anak kurus itu dengan penuh tanya.
"akupun sama sepertimu".
Kemudian ku akhiri percakapanku dengan ke 2 anak tersebut dan mencoba menyisir jalan untuk menemukan sebuah enclave yang membawaku ke sebuah tempat yang tak pernah kujamak sebelumnya.

"oh jadi namamu icang".
"kelihatanya kau dan adik kecilmu lapar, makanlah roti ini, aku sempat membelinya tadi, sebelum ku bertemu denganmu", dengan nada yang tidak jelas, karna sepotong roti masuk ke tenggorokanku.
Akupun kembali mengawali percakapanku yang telah kuhentikan sebelumnya, dengan penuh rasa kekeluargaan kami berbaur menjadi satu, itulah indahnya sebuah persahabatan yang mungkin tidak kami temukan jika kami menjadi orang kelas atas.
Selang beberapa saat, tak lama kami merasakan indahnya kebebasan seseorang menghampiri ku, yang pada saat itu aku memutuskan untuk membeli minuman ringan.
Tapi kurasakan ada yang aneh dari orang tersebut, dengan seragam yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya, ku percepat langkah jalanku, kulihat dia masih berada di belakangku dan semakin mempercepat langkahnya,
"LARI ICANG", teriaku dengan spontan, sambil kulihat icang dan adiknya berada 5 meter di depanku.
Tapi apa daya langkah kaki orang itu lebih cepat dari pada langkah kakiku hingga akhirnya aku terjatuh dan merasa seseorang telah memukul kakiku hingga sulit bagiku untuk beranjak dan memulai pelarianku.
Kurasakan ini awal terberat dalam hidupku, seakan-akan typhus mulai datang dari laut cina dan memporak-porandakan isi hatiku, dan juga mental yang ada dalam diriku, akupun hanya bisa terdiam tatkala pukulan-pukulang mendarat di sekujur tubuhku, hingga membuat ku lemas tak berdaya, dan kini aku hanya bisa memejamkan mata, berharap ini adalah mimpi terburuk dalam sejarah hidupku, sambil kunikmati hembusan nafas yang keluar masuk ke rongga pernafasanku.

20 TAHUN KEMUDIAN
akhirnya aku menyadari betapa pentingnya hidupku tatkala 12 tahun yang lalu seseorang anak dengan 1 orang adiknya yang masih belia, mengajarkanku betapa celakanya menyia-nyiakan satu menit saja waktu yang kita jalani, dan kini masih ku ingat dalam benaku tatkala dia mengatakan, "jangan kira aku hanya diam, aku tak mau kehilangan sahabat untuk yang ke 2 kalinya.
Ingin rasanya aku bertemu dan menunjukan hasil yang telah ku capai hingga aku menjadi seseoran yang mampu berjalan di kaki sendiri dan menyelesaikan tesisku untuk meraih gelar sarjanaku.

No comments:

Post a Comment