Monday 21 February 2011

MATA LENSA part 2

Malam itu angin begitu tenangnya bulanpun terlihat begitu penuh, sempurna. aku duduk di antara teras balkon rumah sambil menikmati semilir angin yang tampak tenang, kuresapi setiap hembusannya kurasakan setiap geraknya menembus pori-pori dalam tubuhku, ketika itu pikiranku begitu kacau, menimbang dan memilih suatu jalan hidup itu menyulitkan, pikirku. Ketika keadaan tak mungkin lagi dapat di tolerir saat itu pula kau harus menentukan satu di antara sekian banyak pilihan. Banyak orang merasa yakin pada keputusannya tapi nyatanya mereka ada dalam sebuah pilihan yang salah. kita tak sepantasnya menyalahkan keadaan terlebih setiap proses tidak datang dengan sendirinya ada sebab dan akibat yang di timbulkannya.    
          Tiba-tiba dari samping kamarku ku dengar salah seseorang menyapaku “hey wir sudahlah tak perlu kau pikirkan si dia, terlalu sering kau memikirkannya lama-lama gila kau dibuatnya,” ucapnya dengan nada penuh tawa dan berusaha meledekku.
          “siapa namanya?, aku lupa. Kapan ia pulang?,” tambahnya.
          ku renyitkan dahiku “yang mana?,” ucapku.
          “itu yang sering kulihat di ponselmu, tampaknya kau berusaha melupakannya setiap kali ku bahas wanita itu.”
          “ah… itu, ia temanku,” ucapku.
          “teman tapikau sudah banyak melakukan sesuatu untuknya dan terakhir kulihat kau melukis untuknya,” “apa itu yang kau sebut teman wir,” tambanya.
          “ah itu aku hanya mengisi waktu luangku saja, lagian ia terlalu sempurna untukku, aku selalu berfikir ketika aku memilih sebuah pilihan aku selalu berusaha mencari tau apa yang akan di timbulkan oleh pernyataanku dalam ide-ideku dan juga keputusanku,” ucapku dengan nada penuh akan sebuah kecemasan dalam benakku
          “nah itulah kenapa kau selalu gagal dalam setiap melakukan keputusan, kau terlalu takut akan resiko yang kau ambil sebelum kau berani meyatakan kau siap untuknya, hidup ini terlalu keras untuk seorang pemikir terlebih ketika kau di kalahkan oleh rasa takutmu itu”
          “belajarlah untuk berfikir lebih cepat. dan ketika orang lain mulai merencana, kau lebih dulu bertindak dan ketika orang lain bertindak kau sudah lebih dulu berencana itulah mengapa banyak orang di landa kegagalan dalam membangun keyakinan akan sebuah pilihannya, karna terlebih dahulu mereka merasa takut untuk melangkah sehingga pikirannyapun selalu di hinggapi rasa takut akan kegagalan, kecemasan, kehati-hatian yang sebenarnya menimbulkan krisis kepercayaan dalam diri mereka sebelum mereka berani untuk mencobanya, dan kau termasuk di dalamnya wir,” ucanya
          “sudahlah janganlah kau terlalu banyak menimbang ini itu, coba dan lakukanlah. pada saat bertindak kau yakin, pada saat kau berencana kau yakin dan pada saat gagalpun kau harus yakin kau akan kembali bertindak pada suatu kebenaran yang sudah kau rencanakan sebelum kau merasakan kegagalanmu,” ia tampak begitu tenang ketika mengatakannya matanya begitu haus akan kemenangan dan belum sempat mengakhiri pembicaraan kembali ku alihkan percakap tesebut.
          “sudahlah aku tak ingin membahasnya terlalu jauh,” ucapku.
          “aku mulai sadar kau orang yang begitu mudah menyepelekan suatu persoalan,” ucanya. “baiklah kau mau minum, ambilah beberapa minuman di kamarku,” tambahnya.
          “Ada beberapa minuman di lemari pendinginku ambillah salah satunya dan coba kau tuangkan di gelas yang biasanya aku kenakan, dan kalau kau ingin minum tuanglah, ambilah gelasmu,” ucapnya.  “dan kaulaupun tidak aku tak memaksamu”, tambahnya.
Dan malam ini bukanlah hal yang biasa bagi kami. setiap malamnya bahkan pernah kami menghabiskan malam kami dengan minuman, mencari tau apa yang sebenarnya kami butuhkan apa yang sebenernya orang lain butuhkan. Kami bukan seorang amoral kami tak ingin menghendakinya, kami sadar betul tak ada satu orangpun yang ingin merasakannya tapi jahatnya kami tak sebanding para orang-orang yang melahirkan aturan-aturan tersebut. mereka melakukan eksodus besar-besaran di tanah kami, lingkungan kami. mereka yang melahirkan para pembelot-pembelot seperti kami, mereka lah yang melahirkan orang-orang seperti kami mereka pulalah yang membuat aturan-aturan untuk kami. dunia tampak tak begitu adilnya bagi orang-orang tak memiliki kekuasaan atas negrinya.
“ngomong-ngomong masalah pilihan terkadang seseorang dapat melakukan apapun demi sebuah pilihan tak peduli akan sebuah aturan, ketika situasi  mendesak seseorang lebih memerankan instingnya ketimbang hati dan rasa akan hakikatnya sebagai manusia.”
“memang itu terdengar realistis,” ucapku.
“Sebagai contoh seorang bapak yang kulihat kemarin ia merintih ketika puluhan orang memukulinya di depan anak dan istrinyanya. ia menangis dalam tangisannya ia mungkin ber-doa untuk ke dua anak dan istrinya, dan ketika seseorang menanyakan alasannya mencuri ia menjawab ini untuk keluarga.. ini untuk keluarga.. ini untuk anak-anakku. miris mendengarnya memang. tapi lagi-lagi kita juga tak bisa menyalahkan orang-orang yang memukulinya, merekapun sama mereka sama-sama menjadi korban atas demokrasi yang terlewat batas,” ucapku dengan sesekali menenggakan minuman ke dalam tenggorokanku.
“apapun itu yang kau katakan setan dibalik otak merekalah yang mengambil peran dalam setiap keputusannya, terasa amat sangat miris memang di tambah situasipun mendukung mereka untuk melakukannya,” ucapnya. seraya mengangkat botol minumman yang tepat di depannya.
“kau tau ini apa?, ini adalah senjata bagi para mereka yang takmampu berbuat banyak terhadap keadaan. Mereka yang menentang tapi mereka pulalah yang melegalkan, menutup mata atas kebobroka regenerasi yang telah mereka ciptakan adalah sebuah kemunafikan yang teramat busuk,” ucapnya dengan raut wajah penuh kebencian.
 “coba kau teguk dan rasakan mengapa mereka begitu beraninya menentang kekuasaan, karna itu yang kau pegang, yang kau rasakan adalah sebuah propaganda untuk memperkaya mereka yang kau anggap musuh bagi dirimu, dengan menagcungkan jarinya dan meletakannya di antara jantungnya mereka telah menganggap diri mereka sebagai sang pemenang, sang diktator ulung yang tak ubahnya sebagai para kacung yang di peralat jabatannya.”
“kau tau persis di belakang kita ini?, ” tanyanya. “kita telah melegalkan kemiskinan menjalar, di sana” sambil mengacungkan jarinya dan menunjukannya. “Anak kecil begitu asiknya mandi di kubangan lumpur, tertawa ia lepas, tak banyak yang di tuntutnya, separah itukah kemiskinan di negri ini,” tambahnya.

Rasanya tak adil bagi kami aku sadar betul siapa diriku, aku tak bisa melarang mereka aku tak memiliki kedudukan atas mereka, melarang mereka untuk mejadikan anak mereka sebagai lumbung pencari nafkah adalah sesuatu yang teramat dosa bagiku, dan aku berfikir harapan itu selalu ada bagi mereka yang mau berusaha. ketika itu aku sendiri berjalan menembus teriknya panas kota dan ketika itu tak sengaja kulihat seorang anak beserta sang ibu begitunyamannya ia tidur di antara ruas jembatan yang tanpak lengang dari keramaian, sang anak bertanya kepada ibunya dengan pertanyaan yang tak menau itu “bu ini huruf apa?, aku tak pernah melihatnya sebelumnya.”
“ini adalah S,” sang ibu menunjuk dan menjelaskannya dengan gamblang, “sedangkan yang berbentuk seperti cincin dan memiliki lingkaran di tengah adalah O”, tambahnya.
Si anak merenyitkan dahinya mencoba mencerna setiap kalimat yang di ucapkan sang ibu “lalu yang memiliki kedua kaki menyerupai kursi adalah H,” ucap sang ibu terhadap anaknya. “Kalo yang memiliki perut dan seperti tampak orang kekenyangan ini apa bu, bentuknya lucu”, ucap sang anak dengan raut yang begitu tenangnya “itu adalah B huruf ejaan ke dua setelah A, adakah yang ingin kau tanyakan kembali nak?,” tanya sang ibu terhadap anaknya.
“tidak bu, aku lapar aku ingin makan,” sang ibu kemudian membuka gulungan kain yang berada di depannya dan meberikan sepotong roti terhadap anaknya “ini roti untukmu nak, makanlah.” Tanpa banyak kata si anak kecil itu begitu lahapnya menikmati sepotong roti pemberian dari ibunya si ibu hanya bisa tersenyum melihat sang anak masih dapat merasakan berkah nikmat di siang ini. Kemudian kutinggalkan mereka dan berharap siang ini aku tak terlambat dalam mengajukan artikelku yang berjudul kaya negriku tapi tidak rakyatku.

Tuesday 15 February 2011

KARLINOVE

cinta kadang mengharuskanmu melakukan segala sesuatu untuknya bahkan untuk sesuatu tak dapat kamu lakukan sebelumnya, ketika itu kau akan merangkak dan mencoba untuk berlari, berusaha memperolehnya setelah itu menjaganya 

ia mungkin terlihat begitu cantik ketika malam nanti, kupersiapkan apapun yang dapat aku lakukan untuk dapat memikat hatinya. kemudian ku ambilnya beberapa stel pakaian yang sudah kusiapkan tadi yang tergantung di lemari kayu yang mulai tampak usang itu. bagiku ini tampak begitu serasi, mulai dari kemeja hitam yang kugunakan sampai dengan sepatu hitam yang kukenakan tampak sepadan aku berharap ketika malam nanti karlinove melihatku dan mengajaku berdansa, pikirku
jamuan malam nanti di hadiri oleh beberapa mahasiswa diantaranya karlinove, semenjak aku mengenalnya ia wanita yang begitu sempurna, ketika itu ia cantik dngan raut mukanya yang tenang, begitu membuatku penasaran akan sikapnya dan malam ini adalah sebuah pembuktian bagiku, tak ada kata tidak aku harus menyatakan perasaanku kepadanya, kusiapkan beberapa tangkai bunga yang sudah kutaruh di meja, aku ingin memberikan sesuatu untuknya malam nanti, mungkin dengan begitu semua yang menjadi pertanyaan besar bagiku lambat laun terbuka dengan sendirinya, dan ketika itu aku berfikir semua itu tentunya butuh sebuah proses dan proses itu di mulai dari diri sendiri dan ini adalah waktu yang tepat bagiku, pikirku
kulangkahkan kakiku dengan segudang pertanyaan besar yang belum dapat kutemukan jawabannya sebelum ku mencobanya malam ini, dan kubukanya knop pintu dengan penuh percaya diri ketika itu nyalanya lampu malam dan cahaya bulan megitu memayungiku dalam sebuah keyakinan yang mantab akan sebuah penantianku selama ini terhadap karlinove
dan waktu itu malam menunjukan pukul 8 beberapa orang sudah mulai hadir dengan menggunakan pakaian yang sepadan, beberapa di antara tamu undangan yang lainnya bahkan memperkenalkan pasangannya masing-masing saat itu tak kulihat tanda-tanda kehadiran karlinove namun tiba-tiba suara-suara samar terdengar di antara alunan musik yang begitu riuhnya
"hey flannery," suara itu terdengar begitu samar, dan ketika untuk kesekian kalinya baru aku tau ia temanku bernama valnerd ia begitu tampak aneh ketika mengenakan kacamata dengan rambutnya yang tampak berwarna-warna itu, aku sempat lupa sesaat ketika itu. kemudian ia mengajaku untuk bergabung dengan yang lainnya yang sudah menunggu lebih awal dan saat itu di antara ramainya para tamu undangan kulihat karlinove ia begitu cantik dengan mengenakan gaun berwarna merah marun yang tampak serasi, ku dekatinya dan kumulai mengawali percakapan dengannya
"hai karlinove kau begitu cantik dengan busana yang kau kenakan," ucapku
"kau ini selalu saja memujiku, tidakah kau lupa ini malam terakhir bagi kita, aku tak ingin terlihat buruk di malam terakhir ini," ucapnya
"ya memang sudah seharusnya kita terlihat sempurna, terlebih lagi ketika bertemu denganmu," sautku dengan penuh tawa
"ini untuk yang ke dua kalinya kau membuat lelucon yang serupa," kemudia valnerd menepuk punggungku dengan samar, aku tau ia mengisyaratkan sesuatu padaku, kemudia saat itu ku akhiri percakapanku dengan karlinove kutinggalkan karlinove saat itu.
"sepertinya kau menaruh ketertarikan terhadap karlinove, bukankah seperti itu flannery," ucapnya
"siapa yang tidak kagum melihat kecantikannya, ia begitu sempurna dan ia seorang yang ramah, kaupun tentunya sependapat denganku dan yang lainnyapun sama."
"lalu apa yang akan kau lakukan, tidakkah kau tau terlalu sulit untuk mendapatkannya dan kaupun menyadari itu flanerry," tambahnya
"semua itu proses dan ketika kau berusaha mendapatkan sesuatu tidakkah kau ingat apa yang terjadi sebelum kau menginginkan apa yang kau inginkan, tak mudah memang namun setidaknya aku telah mencobanya, tak peduli apa yang terjadi nanti yang terpenting aku sudah mengikuti bagian dari rencana itu", ucapku dengan begitu optimis
"sudah-sudahlah mari kita nikmati malam ini dengan champagne,"ucapku kembali
ketika itu malampun semakin riuh orang berlalulalang dengan begitu gembiranya, suasana silih berganti menjadi tampak lebih riuh dengan hadirnya para penari-penari tak bisa di bayangkan begitu mewahnya malam ini, namun di hati kecilku hanya ada karlinove aku tak pedul akan semuanya, champagne, para penari, pepisahaan hari ini aku tak peduli bagiku karlinove dan karlinove.
"itu mereka," ucap valnerd kepadaku. saat itu kulihat dayle, dzcko, dan pahlevy tengah menikmati champagne dengan beberapa makanan yang terpampang di meja kaca itu
"kami sudah cuku lama menunggu di tempat ini, kemana saja kalian", ucap salah satu dari mereka
"sudahlah tak perlu di pertanyakan, kita lanjutkan saja malam yang indah ini," ucap valnerd kemudian di isikannya beberapa gelas yang tampak kosong sebelum kami tiba dan  kamipun bersulang ketika itu. namun tetap saja mataku tak pernah berhentinya mencari sosok karlinove, saat itu juga ku tinggalkan mereka yang tampak mulai mabuk ketika itu malampun semakin larut orang-orang mulai membaur dengan alkohoh yang mereka komsumsi dan sebagian lagi berdansa bersama pasangannya di tengah alunan irama yang begitu indahnya, ku lihat saat itu karlinove tengah terduduk ia tampak sendiri, mukanya memerah kudekatinya
"bolehkah aku menemanimu malam ini?,"tanyaku sambil memulai percakapan dengannya
"tentu saja", ucapnya dengan nada yang tertekan akibat alkohol yang ia minumnya
"kemana yang lainnya?," ucapku
"oohh, mereka tengah asik berdansa dan sebagian lainnya menikmati champagne"
"kau tidak ikut dengannya?."
"tidak, aku tak ingin terlalu banyak menikmati champagne"
"bukan-bukan itu," ucapku
"lalu apa maksudmu?," tanyanya kembali
"kau tidak ikut berdansa malam ini, itu yang ingin kutanyakan."
"kau ingin mengajaku berdansa malam ini", ucap karlinove
"tidakkah initerlalu cepat?," tanyaku
"kenapa kau melontarkan pernyataan seperti itu?," tanyanya
kemudiaan ku beranjak dari tempat dudukku saat itu pula ku ulurkan tanganku, ia tampak tak menolak ajakanku saat itu pula kudekati tubuhnya kutatap matanyanya ku genggam jemarinya yang halus sedangkan tanganku yang lainnya menyentuh pudaknya, tenangnya ia sampai-sampai kupeluknya dan kami saling berpandangan
"kau tau, ini adalah malam yang kunantikan selama 4 tahun penantianku denganmu"
"aku tak bisa menebak jalan pikiranmu, rasanya itu hal mustahil, namun keputusanmu untuk meninggalkan kota ini bukanlah kapasitasku untuk melarangmu," tambahku
"aku tak habis pikir, kau baru ingin mengatakannya, saat kepergianku tinggal menunggu waktu. bersabarlah katakana saja sekarang dan kaupun akan tau jawaban itu"
“bersabar untuk orang yang kita sayangi itu terasa sulit memang, tapi lebih baik tak kukatakan aku tak ingin terikat waktu kembali,  tak ingin aku di uji dengan ketidak pastian,” pikirku
“kenapa kau terdiam flanerry?”, tanyanya
“tidak, tidak, tak apa, nikmati saja malam ini”, ucapku
Harapan itu kembali di uji, ketika penantianku selama 4 tahun itu datang pilihan ada di depanku, ada dua pilihan ya ataupun tidak dan akupun memutuskan untuk memilih tidak, mungkin itu lebih baik dari hanya sekedar mengikuti aturan yang tak memiliki aturan sedikitpun ada kalanya kita maju untuk menang, ada kalanya kita mundur untuk sebuah kemenangan pula, pikirku

Saturday 22 January 2011

aku dan tuanmu

Malam itu begitu terasa sunyi, semua orang tak peduli, mereka tersenyum lepas, keluarga kami disakitinya, tangan kotor mereka berhasil menjinakan kami, menyesal tunduk pada kekuasaan yang tak pernah sepatutnya kami takuti.
di situ orang-orang berkumpul, sebagian bahkan menertawakan kami, mencaci kami.
"kau kotor ucapnya, hinamu membuat kami murka," mengerikan mengerikan suasana terasa megitu membabi buta, satu persatu di lucutinya kami, tak tersisa tak berbekas, luka itu terasa mencekam setiap kali kami terbangun, tanpa sadar iblispun mengambil perannya.
"aku tuanmu, aku yang sepantasnya kau takuti, akulah yang kau cari," ia tertawa. di lain sisi  kami tak sekalipun tunduk atas kekuasaanmu, kami tak mau menjadi budak atas ulahmu!!, tertawalah, tertawalah tak sekalipun kami menjamak istanamu.
kau tau semua hanyalah halusinasi, ha..ha..haa kau liat keluarga itu, betapa sulitnya ia, betapa menderitanya ia tidakah kau tau dan merasakannya, anak kecil itu begitu senangnya, menderita dalam keterbatasannya, kaki -kaki kecil mereka berlarian tangan-tangan mereka menari-nari senyum mereka begitu damai, adakah yang lebih menderita darinya???, begitu adilnya tuhan menciptakan si kaya dan si miskin, begitu adilkah ketika kesombongan mereka membutakan hati??, tanyalah pada hatimu.

Thursday 13 January 2011

KAUSAL "harapan orang tua terhadap anaknya"


ketika itu, ketika aku lahir mereka berharap-harap cemas akan jadi apa aku nanti
merekapun terus berdoa, dan dalam doanya mereka menyelipkan namaku di antara sejuta harapan.
memang tak banyak yang mereka inginkan dari kami, mereka hanya berkata "jadilah anak yang berguna untuk mama, papa dan keluarga angkatlah drajat papamu mamamu, tunjukan kalau kamu anak papa mama," ucapnya.
seketika itu ucapan haru terus mengalir seiring harapan dan juga pencapaian, di sibaknya kedua matanya yang tampak tenang itu 
dan ketika itu aku hanya bisa tertawa, menangis dan tak menau, tapi mereka mengajarkanku, mengajarkanku arti sebuah transisi dalam hidupku, lalu secara perlahan di betulkannya letak leherku ketika mata mulai terpejam, lidah tak lagi berkata, dan ketika malam semakin larut mereka menjagaku, mereka dengan sabar menungguku terlelap, sapai benar-benar lelap
dan ketika aku menagis malam itu, tangisanku membuat mereka terbagun, mereka tak mempersalahkanku, mereka dengan sabar menenangkanku, mengusapku, menggendongku dan menimangku dengan seutas kasih sayang
saat itu mereka tak punya cukup waktu tidur, dan tak cukup lelah untuk menjagaku, namun perhatian dan kasih sayang yang mereka  berikan lambat laun mulai mendewasakanku seiring dengan waktu yang terus berjalan pelan, pelan namun pasti
dan ketika semakin besar perhatian yang mereka berikan, akupun mulai merangkak dari tempat tidurku, semula mereka menuntunku, kaki-kaki kecilkupun mengikuti langkah geraknya, ketik itu terdengar "kamu bisa nak, mama papa ada untukmu," ucapnya dengan penuh harapan
dan kasih itu terlihat begitu nyata ketika aku terjatuh dalam pangkuannya, sampai suatu ketika aku terbaring dari tempat tidurku, setelah ku buka mata mereka di sampingku mereka tetap terjaga dan menungguku, sampai aku bener-bener sembuh dari sakitku
waktu kian semakin bergulir dengan sendirinya, tak bisa di tebak, dan tak ada yang menebak tanpa sadar akupun semakin beranjak dewasa, proses yang sebelumnya pernah terjadi membuat perjalananku semakin sempurna adakah sebuah kesalahan yang kini pernah kubuatnya, aku terdiam, merenung. ketika itu rambut mereka memutih, nafas mereka terenga ada keinginan untuku membalas kasih sayang itu, tuntutan itu begitu terasa namun aku tak mampu aku tak sanggup mereka begitu sempurna, akupun kini berada di titik di mana rasa cemas begitu merubah jalan hidupku, aku mulai lupa, aku mulai terjatuh, lingkunganku mendukungku, hingga akhirnya degradas moral menimpaku, saat itu mereka hanya diam, karna mereka percaya aku mampu bangkit dan keluar dengan sendirinya, ketika malam tiba mereka berdoa untukku, hingga akhirnya tetesan air mata tak mampu di bendunya dan tangan yang sudah tampak lunglai itu menyibak kelopak matanya yang tampak teduh, saat itu aku tak menau dan tak mau tau, tak sekalipun aku peduli aku bener-benar telah lupa pada proses pendewasaanku aku lupa pada semua kasih sayangnya itu.
hingga suatu ketika aku menemukan sesuatu yang berarti dalam hidupku, semuanya telah merubah jalan hidupku dan ketika kuterbangun dan sadar semoga ini hanyalah sebuah mimpi buruk dalam hidupku...

Tuesday 11 January 2011

MATA LENSA

Waktu itu, waktu umurku masih 12 tahun rasanya tak terfikirkan olehku menjadi seorang journalis, pergi kebeberapa tempat konflik, mengabadikan moment penting yang menurut kita tidak ada hubungannya dengan kita, hingga menjadikan diri kita sebagai media bagi para publik, namun tidak untuk saat ini di mana saat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya ketika serangkaian peristiwa telah banyak mengubah garis hidupku, ketika umurku menginjak 14 tahun peristiwa besar menyadarkanku “apapun itu, dan bagaimanapun itu, kebenaran itu harus di ungkapkan tanpa terkecuali,” serongsong timah panas menembus jantung orang yang ku anggap penting bagi diriku, setelah kusadar itu, aku berdiri di sini dengan tujuan dan jalan yang ku pilih.
            Waktu itu terasa panas menyengat namun tak menyulutkan niatku untuk mengabadikan moment yang ku anggap penting, setidaknya itu bagi diriku. Kulihat sekumpulan anak tunawisma berlarian di tengah teriknya panas matahari, ia tak pernah  mengeluh, dan tak pernah pula ia menghendaki dirinya seperti itu, akupun mencoba mengamati dan memperoleh kecerian dari anak-anak tersebut, aku berfikir orang yang lebih beruntung darinya saja, sekalipun ia anak pengusaha, anak pejabat tetap saja merasa tidak puas akan kekayaan orang tuannya, hingga akhirnya ia mencari kepuasan dengan caranya, di tempat di mana orang depresi menyelesaikan masalahnya dengan narkotika dan sejenisnya. Namun tidak bagi mereka, tak terfikirkan oleh mereka, senyum mereka benar-benar tulus tak ada senyum licik picik yang di penuhi dengan kemunafikan.
            “hey nak ini untukmu,” ku dekati dan kuberikan coklat pasta. sekejap tangan-tangan kecil merekapun menerimanya tak ada rasa curiga sedikitpun dari mereka senyum kecerian tergambar di balik penderitaan yang mereka alami. “terimakasih ka,” ucapnya. Tak lama ku coba untuk mencari tau latar belakan, nama dan juga tempat tinggalnya, mula-mula memang sulit untuk mencari tau sebab pada dasarnya mereka cenderung tertutup untuk persoalan pribadi. Hingga pada akhirnya kaki-kaki kecil mereka mengantarkan diriku ke sebuah pemukiman padat penduduk yang di apit antara gedung-gedung pencakar langit yang tampak kokoh, ini amat sangat kontradiktif sekali ketika aku berada di sini di tempat di mana tak pernah ku duga sebelumnya anak-anak dengan bebas bermain di antara jalan-jalan sempit, berlari, tertawa, menangis, bersiul semuanya bisa mereka lakukan di sini, di tempat ini, dengan situasi seperti ini. Ini adalah kebebasan yang tak ia temukan di luar sana dan ketika cacian makian mereka dapatkan, namun semuanya seakan sirna ketika sesampainya di sini.
”hey coba lihat aku dapat.” teriak seorang anak sambil mengepalkan cicak.  “coba lihat hasil tangkapanku lebih besar dari tangkapanmu,” teriaknya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya ku amati dengan seksama “kena kau.” “kali ini kau kalah.” “kau yang kejar aku sekarang.” “hahaha aku tidak mau.” “kau curang.” “coba saja kalau berani, kejar aku.” celotehan-celotehan merekalah yang membuat aku begitu antusiasnya mengabadikan setiap moment penting dari mereka, begitu lepasnya mereka. Inilah sebuah keterbatasan ucapku dalam hati.
            “ini rumahmu, bisakah kau mengantarkan aku masuk,” ucapku dengan salah satu dari mereka sambil membelai rambutnya.
“boleh, silakan ka masuk,” sambil memperkenalkan beberapa orang yang ada di dalam rumah tersebut. “itu yang sedang berkaca-kaca sambil memainkan rambutnya adalah badrul ia sodara jauhku, ibunya telah lama meninggal sedangkan ayahnya tak tau entah kemana sudah lama ia tinggal bersama kami, ia sangat terobsesi menjadi pemain musik, sedangkan yang tengah tertidur sambil memainkan ujung botol susu yang kosong itu adalah adikku iya bernama eva umurnya baru 5 tahun dan orang tuakupun tak mengijinkan ia mendampingiku bekerja di luar sana, ia masih terlalu kecil untuk mendampingiku bekerja,” ucapnya “dan ia satu-satunya pula harapan kami, aku ingin ia nanti bersekolah,” tambahnya dengan penuh harapan.
“kalau begitu di mana orang tuamu,” ucapku.
“kaka duduk saja dulu, sebentar lagi mereka pulang. ibuku seorang buruh cuci dan biasanya ia mengantakan makanan untuk kami di sela-sela istirahatnya. kaka pasti laparkan, tenang saja. Ibuku pasti membawa makanan yang banyak untuk kami,” ucapnya dengan sorot mata penuh cemas.
“sedangkan ayahmu?,” tanyaku kembali.
“ayahku pulang larut malam bahkan saat fajar ia baru pulang ia seorang pembersih kota dan biasanya setelah itu ia menyiapkan koran-koran untuk di bagikan kepada toko-toko kecil untuk di jualnya kembali sedangkan paginya ia harus kembali lagi bekerja sebagai pembersih kota. Hanya punya waktu sedikit bahkan tidak sama sekali untuk bertemu dengan kami, namun di sela-sela istirahatnya ia sama seperti ibuku sering mengantarkan makanan untuk kami walaupun tak sesering ibu,” ucapnya.
“eman, eva, badrun ayo makan, ibu bawa makanan,” teriak seseorang di luar sana.
“nah itu ibu datang ka,” ucapnya menegaskan kepadaku.
Tak lama kemudian ke dua anak yang tadi tengah asik dengan kegiatannya tersebut berlomba-lomba menghampiri sumber suara tersebut.
“aku mau, aku mau, ini punyaku,” ucap salah satu dari mereka. Kemudian yang lainnyapun membalas celotehannya. “dan ini pasti punyaku, aku yang banyak yaa,” teriak salah satu dari mereka. “iya-iya semuanya dapat,” ucap seorang ibu terhadap anak-anaknya.
“eman siapa yang kau bawa masuk,” teriak salah seorang ibu terhadapnya. 
“bukan siapa-siapa ko bu, iya sangat baik terhadap kami, ibu tak usah kawatir ia hanya ingin mengenal kita secara lebih dekat,” ucapnya. “namanya ka wira,” tambahnya.
Sang ibu menatapku, tatapannya seperti menaruh curiga terhadapku “tenang-tenang bu aku tak bermaksud jahat, aku hanya ingin mengenal kalian secara lebih dekat” ucapku.
“baiklah-baiklah silakan di makan nak wira,” dengan nada yang begitu ramah. “man maman apakah kau sudah memberikan ka wira minum,” teriak sang ibu terhadapnya.
“oh iya aku lupa ibu,” teriaknya dari dapur rumahnya
“kalau begitu cepat ambilkan minum,” teriak sang ibu “baiklah-baiklah,” balasnya.
Tak lama berselang maman membawa segelas minuman beserta beberapa makanan yang belum sempat di keluarkannya. “silakan di makan ka,” ucapnya.
“baiklah terimakasih,” ucapku. “sudah berapa lama ibu tinggal di tempat ini,” ucapku dengan mengawali percakapan ku terhadap sang ibu.
“sudah lama sekali nak,  bahkan tak ada yang bisa kami tinggali selain di tempat ini, orang-orang mulai sibuk membangun gedung-gedung tinggi namun kami tak di pikirkannya,” ucapnya dengan nada yang berat.
“seperti itulah memang ketika mereka merasa sudah puas, mana pernah mereka memperhatikan kembali masa-masa sulitnya. Sampai akhirnya musibah menimpanya kembali baru mereka sadar akan keterbatasan dan kekurangannya.”

Thursday 6 January 2011

LAUDRIC


Laudric adalah seorang pengrajin kayu di tempatnya meskipun ia seorang lulusan sarjana geografi namun tak sekalipun ia merasa rendah dengan apa yang di jalaninya. hingga akirnya ia menikah dengan dimitrif anak dari seorang tuan tanah yang juga sebagai pengrajin kayu di tempatnya, dari hasil pernikahannya laudric memiliki satu orang anak dan kini usahanyapun semakin meroket hingga akhirnya ia menjadi pengusaha pengrajin kayu dan memiliki beberapa anak cabang dari usahanya tersebut tak jarang masyarakat setempat menggantungkan hidupnya dari usaha laudric yang dirintisnya dari awal. walaupun sudah menjadi tuan tanah di tempatnya ia tak lupa kepada orang-orang di sekitarnya, karna baginya tak ada kata tidak untuknya membantu masyarakat yang tak mampu di lingkungan desanya entah mulai dari pendanaan kebersihan, keamanan, kesehatan dan juga yang sifatnya pribadi tak segan-segan ia memberikannya, hingga pernah suatu saat lingkungan tempat tinggalnya membutuhkan dana untuk membangun rumah pribadatan dan iapun berada di garis depan dalam upaya mewujudkan keinginan masyarakat setempat.

namun sesuatu yang tak di inginkan terjadi pada keluarganya, seluruh kekayaanya yang selama ini ia proleh dengan susah payah satu persatu meninggalkannya, tak banyak yang iya dapatkan selain untuk menyewa tempat tinggal dan kebutuhan makan selama setahun, dan ia pun memutuskan hijrah dari tempatnya dengan membawa istrinya dan satu anaknya menyewa tempat tinggal dan memikirkan apa yang ia nantinya lakukan ketika keadan tak lagi dapat di tolerir. pada suau malam iapun berkata ke pada dimitrif dalam suasana duka batinnyapun merintih ketika ia mulai mengucapkannya,
"apakah kau masih setia dengan keadaanku yang seperti ini, jika iya katakan iya dan jika tidak itupun bukan kemauanku," ucapnya
"tentunya kau tau 32 tahun kita bersama apakah kau membayar kebahagian yang terjalin salama itu hanya dengan materi, tidakkah kau ingat siapa kau dulu, kau melamarku tidak dengan materi melimpah ruah, tidak kah kau ingat itu."
"sial menyesal aku dengan semua itu," ucap di mitrif dengan penuh sesal.
"kalo memang begitu haruskah aku meminta kembali semua yang sudah hilang untuk mendapatkan kebahagian yang kau katakan itu, laudric," tambahnya.
"sial terlalu bodoh aku ini!!, aku menganggap rendah dirimu, ku kira kau sama dengan yang lainnya, tinggalkan saja aku ini, kau terlalu berharga untukku dimitrif."
"maksudmu apa dengan yang lainnya?!"
"apakah tak cukup lama kau mengenalku, apakah sebelumnya kita tak saling kenal sebelum kau mengikiarkan janji suci itu?!"
"kau mmpermainkan tuhan laudric, lagi-lagi aku menyesal denganmu laudric."
"sudahlah dimitrif aku memang tak pantas untuk mu," laudric menghentikan percakapan itu dan meninggalkan dimitrif yang tengah terduduk di kursi bambu itu.
                                              
“Apa yang aku ucapkan saat itu, pantaskah kata-kata itu keluar di saat itu, dengan situasi yang seperti itu,” pikirnya. kemudian laudric membuka knop pintu rumahnya dan menutup rapat kembali secara berlahan. ia berjalan dengan ataupun tanpa tujuan, yang terfikirkan hanyalah ucapan-ucapan yang di katakan dimitrif. "haruskah aku menjadi orang yang berdosa seperti ini yaa tuhan, rasanya itu bukan aku," pikirnya. "apa yang harus aku lakukan untuk mereka, istriku dan anakku.", "mungkin mereka saat ini menerima atas keadaanku, tapi apalah nanti apakah aku harus membiarkan mereka hidup dalam penderitaan yang aku alami. berdosa sekali aku ini ya tuhanku." ucapnya dengan penuh sesal. seketika air matapun mengalir dari kedua matanya yang tampak teduh itu. saat itu di angkatnya tangan-tangannya yang bergemetar dan tak menau itu disibakannya tetesan-tetesan air mata yang mulai membasahi sekitar kelopak matanya yang damai itu saat itu hatinya bener-benar gundah, nyalanya cahaya lampu jalan di setiap ruas menyamarkan setiap masalah yang di alaminya.

setelah peristiwa tersebut laudric lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan memperdalam kereligiusannya, jika ketika harta melimpa yang ia pikirkan berhati-hati dalam mempertahanka, dan bagaimana untuk mendapatkan kekayaan, namun kini yang dipikirkannya hanyalah apa yg saat ini bisa kami lakukan untuk keluarga, apa yang bisa kami lakukan untuk orang banyak dan tak ada kecurigaan yang terlintas dari pikirannya semua menjadi sebuah kesatuan, pernah  ketika itu seseorang pekerja yang pernah bekerja dengannya mengunjunginya dan mempertanyakan masalah yang di alaminya, laudric hanya berkata setiap masalah adalah sebuah proses dan proses itu akan hilang dengan sendirinya, tuhan tidak tidur dia tau apa yang kita butuhkan. dan ini, aku sudah melakukan proses yang tuhan inginkan, tak ada penyesalan dan tak ada yang harus di salahkan ucapnya. dan ketika di tanyakan apa yang akan di lakukannya nanti, ia pun hanya berkata apapun yang akan ku lakukan nanti tuhan lebih tau, aku tak ingin menuntutnya akupun tak ingin mendahuluinya aku tak ingin menghentikan proses yang tengah berjalan saat ini. Bagiku ini sudah lebih dari cukup, tak ada lagi kecurigaan tak ada lagi kesombongan dan tak ada lagi kemunafikan yang mungkin pernah kulakukaan pada masa-masa itu, dan akupun kini dapat bernafas lega kutanggalkan segala atribut gelar dan juga kehormatan identitasku kini akupun sama bagian di antara 233 juta orang lainnya, hidup dalam keterbatsan dan juga pengharapan, tak adalagi kata tuan, saudagar kini kitapun sama dan inilah aku  laudric ucapnya.