Tuesday 11 January 2011

MATA LENSA

Waktu itu, waktu umurku masih 12 tahun rasanya tak terfikirkan olehku menjadi seorang journalis, pergi kebeberapa tempat konflik, mengabadikan moment penting yang menurut kita tidak ada hubungannya dengan kita, hingga menjadikan diri kita sebagai media bagi para publik, namun tidak untuk saat ini di mana saat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya ketika serangkaian peristiwa telah banyak mengubah garis hidupku, ketika umurku menginjak 14 tahun peristiwa besar menyadarkanku “apapun itu, dan bagaimanapun itu, kebenaran itu harus di ungkapkan tanpa terkecuali,” serongsong timah panas menembus jantung orang yang ku anggap penting bagi diriku, setelah kusadar itu, aku berdiri di sini dengan tujuan dan jalan yang ku pilih.
            Waktu itu terasa panas menyengat namun tak menyulutkan niatku untuk mengabadikan moment yang ku anggap penting, setidaknya itu bagi diriku. Kulihat sekumpulan anak tunawisma berlarian di tengah teriknya panas matahari, ia tak pernah  mengeluh, dan tak pernah pula ia menghendaki dirinya seperti itu, akupun mencoba mengamati dan memperoleh kecerian dari anak-anak tersebut, aku berfikir orang yang lebih beruntung darinya saja, sekalipun ia anak pengusaha, anak pejabat tetap saja merasa tidak puas akan kekayaan orang tuannya, hingga akhirnya ia mencari kepuasan dengan caranya, di tempat di mana orang depresi menyelesaikan masalahnya dengan narkotika dan sejenisnya. Namun tidak bagi mereka, tak terfikirkan oleh mereka, senyum mereka benar-benar tulus tak ada senyum licik picik yang di penuhi dengan kemunafikan.
            “hey nak ini untukmu,” ku dekati dan kuberikan coklat pasta. sekejap tangan-tangan kecil merekapun menerimanya tak ada rasa curiga sedikitpun dari mereka senyum kecerian tergambar di balik penderitaan yang mereka alami. “terimakasih ka,” ucapnya. Tak lama ku coba untuk mencari tau latar belakan, nama dan juga tempat tinggalnya, mula-mula memang sulit untuk mencari tau sebab pada dasarnya mereka cenderung tertutup untuk persoalan pribadi. Hingga pada akhirnya kaki-kaki kecil mereka mengantarkan diriku ke sebuah pemukiman padat penduduk yang di apit antara gedung-gedung pencakar langit yang tampak kokoh, ini amat sangat kontradiktif sekali ketika aku berada di sini di tempat di mana tak pernah ku duga sebelumnya anak-anak dengan bebas bermain di antara jalan-jalan sempit, berlari, tertawa, menangis, bersiul semuanya bisa mereka lakukan di sini, di tempat ini, dengan situasi seperti ini. Ini adalah kebebasan yang tak ia temukan di luar sana dan ketika cacian makian mereka dapatkan, namun semuanya seakan sirna ketika sesampainya di sini.
”hey coba lihat aku dapat.” teriak seorang anak sambil mengepalkan cicak.  “coba lihat hasil tangkapanku lebih besar dari tangkapanmu,” teriaknya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya ku amati dengan seksama “kena kau.” “kali ini kau kalah.” “kau yang kejar aku sekarang.” “hahaha aku tidak mau.” “kau curang.” “coba saja kalau berani, kejar aku.” celotehan-celotehan merekalah yang membuat aku begitu antusiasnya mengabadikan setiap moment penting dari mereka, begitu lepasnya mereka. Inilah sebuah keterbatasan ucapku dalam hati.
            “ini rumahmu, bisakah kau mengantarkan aku masuk,” ucapku dengan salah satu dari mereka sambil membelai rambutnya.
“boleh, silakan ka masuk,” sambil memperkenalkan beberapa orang yang ada di dalam rumah tersebut. “itu yang sedang berkaca-kaca sambil memainkan rambutnya adalah badrul ia sodara jauhku, ibunya telah lama meninggal sedangkan ayahnya tak tau entah kemana sudah lama ia tinggal bersama kami, ia sangat terobsesi menjadi pemain musik, sedangkan yang tengah tertidur sambil memainkan ujung botol susu yang kosong itu adalah adikku iya bernama eva umurnya baru 5 tahun dan orang tuakupun tak mengijinkan ia mendampingiku bekerja di luar sana, ia masih terlalu kecil untuk mendampingiku bekerja,” ucapnya “dan ia satu-satunya pula harapan kami, aku ingin ia nanti bersekolah,” tambahnya dengan penuh harapan.
“kalau begitu di mana orang tuamu,” ucapku.
“kaka duduk saja dulu, sebentar lagi mereka pulang. ibuku seorang buruh cuci dan biasanya ia mengantakan makanan untuk kami di sela-sela istirahatnya. kaka pasti laparkan, tenang saja. Ibuku pasti membawa makanan yang banyak untuk kami,” ucapnya dengan sorot mata penuh cemas.
“sedangkan ayahmu?,” tanyaku kembali.
“ayahku pulang larut malam bahkan saat fajar ia baru pulang ia seorang pembersih kota dan biasanya setelah itu ia menyiapkan koran-koran untuk di bagikan kepada toko-toko kecil untuk di jualnya kembali sedangkan paginya ia harus kembali lagi bekerja sebagai pembersih kota. Hanya punya waktu sedikit bahkan tidak sama sekali untuk bertemu dengan kami, namun di sela-sela istirahatnya ia sama seperti ibuku sering mengantarkan makanan untuk kami walaupun tak sesering ibu,” ucapnya.
“eman, eva, badrun ayo makan, ibu bawa makanan,” teriak seseorang di luar sana.
“nah itu ibu datang ka,” ucapnya menegaskan kepadaku.
Tak lama kemudian ke dua anak yang tadi tengah asik dengan kegiatannya tersebut berlomba-lomba menghampiri sumber suara tersebut.
“aku mau, aku mau, ini punyaku,” ucap salah satu dari mereka. Kemudian yang lainnyapun membalas celotehannya. “dan ini pasti punyaku, aku yang banyak yaa,” teriak salah satu dari mereka. “iya-iya semuanya dapat,” ucap seorang ibu terhadap anak-anaknya.
“eman siapa yang kau bawa masuk,” teriak salah seorang ibu terhadapnya. 
“bukan siapa-siapa ko bu, iya sangat baik terhadap kami, ibu tak usah kawatir ia hanya ingin mengenal kita secara lebih dekat,” ucapnya. “namanya ka wira,” tambahnya.
Sang ibu menatapku, tatapannya seperti menaruh curiga terhadapku “tenang-tenang bu aku tak bermaksud jahat, aku hanya ingin mengenal kalian secara lebih dekat” ucapku.
“baiklah-baiklah silakan di makan nak wira,” dengan nada yang begitu ramah. “man maman apakah kau sudah memberikan ka wira minum,” teriak sang ibu terhadapnya.
“oh iya aku lupa ibu,” teriaknya dari dapur rumahnya
“kalau begitu cepat ambilkan minum,” teriak sang ibu “baiklah-baiklah,” balasnya.
Tak lama berselang maman membawa segelas minuman beserta beberapa makanan yang belum sempat di keluarkannya. “silakan di makan ka,” ucapnya.
“baiklah terimakasih,” ucapku. “sudah berapa lama ibu tinggal di tempat ini,” ucapku dengan mengawali percakapan ku terhadap sang ibu.
“sudah lama sekali nak,  bahkan tak ada yang bisa kami tinggali selain di tempat ini, orang-orang mulai sibuk membangun gedung-gedung tinggi namun kami tak di pikirkannya,” ucapnya dengan nada yang berat.
“seperti itulah memang ketika mereka merasa sudah puas, mana pernah mereka memperhatikan kembali masa-masa sulitnya. Sampai akhirnya musibah menimpanya kembali baru mereka sadar akan keterbatasan dan kekurangannya.”

No comments:

Post a Comment