Monday 21 February 2011

MATA LENSA part 2

Malam itu angin begitu tenangnya bulanpun terlihat begitu penuh, sempurna. aku duduk di antara teras balkon rumah sambil menikmati semilir angin yang tampak tenang, kuresapi setiap hembusannya kurasakan setiap geraknya menembus pori-pori dalam tubuhku, ketika itu pikiranku begitu kacau, menimbang dan memilih suatu jalan hidup itu menyulitkan, pikirku. Ketika keadaan tak mungkin lagi dapat di tolerir saat itu pula kau harus menentukan satu di antara sekian banyak pilihan. Banyak orang merasa yakin pada keputusannya tapi nyatanya mereka ada dalam sebuah pilihan yang salah. kita tak sepantasnya menyalahkan keadaan terlebih setiap proses tidak datang dengan sendirinya ada sebab dan akibat yang di timbulkannya.    
          Tiba-tiba dari samping kamarku ku dengar salah seseorang menyapaku “hey wir sudahlah tak perlu kau pikirkan si dia, terlalu sering kau memikirkannya lama-lama gila kau dibuatnya,” ucapnya dengan nada penuh tawa dan berusaha meledekku.
          “siapa namanya?, aku lupa. Kapan ia pulang?,” tambahnya.
          ku renyitkan dahiku “yang mana?,” ucapku.
          “itu yang sering kulihat di ponselmu, tampaknya kau berusaha melupakannya setiap kali ku bahas wanita itu.”
          “ah… itu, ia temanku,” ucapku.
          “teman tapikau sudah banyak melakukan sesuatu untuknya dan terakhir kulihat kau melukis untuknya,” “apa itu yang kau sebut teman wir,” tambanya.
          “ah itu aku hanya mengisi waktu luangku saja, lagian ia terlalu sempurna untukku, aku selalu berfikir ketika aku memilih sebuah pilihan aku selalu berusaha mencari tau apa yang akan di timbulkan oleh pernyataanku dalam ide-ideku dan juga keputusanku,” ucapku dengan nada penuh akan sebuah kecemasan dalam benakku
          “nah itulah kenapa kau selalu gagal dalam setiap melakukan keputusan, kau terlalu takut akan resiko yang kau ambil sebelum kau berani meyatakan kau siap untuknya, hidup ini terlalu keras untuk seorang pemikir terlebih ketika kau di kalahkan oleh rasa takutmu itu”
          “belajarlah untuk berfikir lebih cepat. dan ketika orang lain mulai merencana, kau lebih dulu bertindak dan ketika orang lain bertindak kau sudah lebih dulu berencana itulah mengapa banyak orang di landa kegagalan dalam membangun keyakinan akan sebuah pilihannya, karna terlebih dahulu mereka merasa takut untuk melangkah sehingga pikirannyapun selalu di hinggapi rasa takut akan kegagalan, kecemasan, kehati-hatian yang sebenarnya menimbulkan krisis kepercayaan dalam diri mereka sebelum mereka berani untuk mencobanya, dan kau termasuk di dalamnya wir,” ucanya
          “sudahlah janganlah kau terlalu banyak menimbang ini itu, coba dan lakukanlah. pada saat bertindak kau yakin, pada saat kau berencana kau yakin dan pada saat gagalpun kau harus yakin kau akan kembali bertindak pada suatu kebenaran yang sudah kau rencanakan sebelum kau merasakan kegagalanmu,” ia tampak begitu tenang ketika mengatakannya matanya begitu haus akan kemenangan dan belum sempat mengakhiri pembicaraan kembali ku alihkan percakap tesebut.
          “sudahlah aku tak ingin membahasnya terlalu jauh,” ucapku.
          “aku mulai sadar kau orang yang begitu mudah menyepelekan suatu persoalan,” ucanya. “baiklah kau mau minum, ambilah beberapa minuman di kamarku,” tambahnya.
          “Ada beberapa minuman di lemari pendinginku ambillah salah satunya dan coba kau tuangkan di gelas yang biasanya aku kenakan, dan kalau kau ingin minum tuanglah, ambilah gelasmu,” ucapnya.  “dan kaulaupun tidak aku tak memaksamu”, tambahnya.
Dan malam ini bukanlah hal yang biasa bagi kami. setiap malamnya bahkan pernah kami menghabiskan malam kami dengan minuman, mencari tau apa yang sebenarnya kami butuhkan apa yang sebenernya orang lain butuhkan. Kami bukan seorang amoral kami tak ingin menghendakinya, kami sadar betul tak ada satu orangpun yang ingin merasakannya tapi jahatnya kami tak sebanding para orang-orang yang melahirkan aturan-aturan tersebut. mereka melakukan eksodus besar-besaran di tanah kami, lingkungan kami. mereka yang melahirkan para pembelot-pembelot seperti kami, mereka lah yang melahirkan orang-orang seperti kami mereka pulalah yang membuat aturan-aturan untuk kami. dunia tampak tak begitu adilnya bagi orang-orang tak memiliki kekuasaan atas negrinya.
“ngomong-ngomong masalah pilihan terkadang seseorang dapat melakukan apapun demi sebuah pilihan tak peduli akan sebuah aturan, ketika situasi  mendesak seseorang lebih memerankan instingnya ketimbang hati dan rasa akan hakikatnya sebagai manusia.”
“memang itu terdengar realistis,” ucapku.
“Sebagai contoh seorang bapak yang kulihat kemarin ia merintih ketika puluhan orang memukulinya di depan anak dan istrinyanya. ia menangis dalam tangisannya ia mungkin ber-doa untuk ke dua anak dan istrinya, dan ketika seseorang menanyakan alasannya mencuri ia menjawab ini untuk keluarga.. ini untuk keluarga.. ini untuk anak-anakku. miris mendengarnya memang. tapi lagi-lagi kita juga tak bisa menyalahkan orang-orang yang memukulinya, merekapun sama mereka sama-sama menjadi korban atas demokrasi yang terlewat batas,” ucapku dengan sesekali menenggakan minuman ke dalam tenggorokanku.
“apapun itu yang kau katakan setan dibalik otak merekalah yang mengambil peran dalam setiap keputusannya, terasa amat sangat miris memang di tambah situasipun mendukung mereka untuk melakukannya,” ucapnya. seraya mengangkat botol minumman yang tepat di depannya.
“kau tau ini apa?, ini adalah senjata bagi para mereka yang takmampu berbuat banyak terhadap keadaan. Mereka yang menentang tapi mereka pulalah yang melegalkan, menutup mata atas kebobroka regenerasi yang telah mereka ciptakan adalah sebuah kemunafikan yang teramat busuk,” ucapnya dengan raut wajah penuh kebencian.
 “coba kau teguk dan rasakan mengapa mereka begitu beraninya menentang kekuasaan, karna itu yang kau pegang, yang kau rasakan adalah sebuah propaganda untuk memperkaya mereka yang kau anggap musuh bagi dirimu, dengan menagcungkan jarinya dan meletakannya di antara jantungnya mereka telah menganggap diri mereka sebagai sang pemenang, sang diktator ulung yang tak ubahnya sebagai para kacung yang di peralat jabatannya.”
“kau tau persis di belakang kita ini?, ” tanyanya. “kita telah melegalkan kemiskinan menjalar, di sana” sambil mengacungkan jarinya dan menunjukannya. “Anak kecil begitu asiknya mandi di kubangan lumpur, tertawa ia lepas, tak banyak yang di tuntutnya, separah itukah kemiskinan di negri ini,” tambahnya.

Rasanya tak adil bagi kami aku sadar betul siapa diriku, aku tak bisa melarang mereka aku tak memiliki kedudukan atas mereka, melarang mereka untuk mejadikan anak mereka sebagai lumbung pencari nafkah adalah sesuatu yang teramat dosa bagiku, dan aku berfikir harapan itu selalu ada bagi mereka yang mau berusaha. ketika itu aku sendiri berjalan menembus teriknya panas kota dan ketika itu tak sengaja kulihat seorang anak beserta sang ibu begitunyamannya ia tidur di antara ruas jembatan yang tanpak lengang dari keramaian, sang anak bertanya kepada ibunya dengan pertanyaan yang tak menau itu “bu ini huruf apa?, aku tak pernah melihatnya sebelumnya.”
“ini adalah S,” sang ibu menunjuk dan menjelaskannya dengan gamblang, “sedangkan yang berbentuk seperti cincin dan memiliki lingkaran di tengah adalah O”, tambahnya.
Si anak merenyitkan dahinya mencoba mencerna setiap kalimat yang di ucapkan sang ibu “lalu yang memiliki kedua kaki menyerupai kursi adalah H,” ucap sang ibu terhadap anaknya. “Kalo yang memiliki perut dan seperti tampak orang kekenyangan ini apa bu, bentuknya lucu”, ucap sang anak dengan raut yang begitu tenangnya “itu adalah B huruf ejaan ke dua setelah A, adakah yang ingin kau tanyakan kembali nak?,” tanya sang ibu terhadap anaknya.
“tidak bu, aku lapar aku ingin makan,” sang ibu kemudian membuka gulungan kain yang berada di depannya dan meberikan sepotong roti terhadap anaknya “ini roti untukmu nak, makanlah.” Tanpa banyak kata si anak kecil itu begitu lahapnya menikmati sepotong roti pemberian dari ibunya si ibu hanya bisa tersenyum melihat sang anak masih dapat merasakan berkah nikmat di siang ini. Kemudian kutinggalkan mereka dan berharap siang ini aku tak terlambat dalam mengajukan artikelku yang berjudul kaya negriku tapi tidak rakyatku.

No comments:

Post a Comment