Sunday 7 November 2010

Free man a.k.a preman

Ketika kita mendengar kata preman yang terbesit adalah tingkah laku manusia yang menimbulkan suatu kerusakan yang sifatnya anarki. dan hal ini tentunya sudah melekat puluhan tahun silam jauh sebelum kolonialisme berkembang ketika di temukannya beberapa panil relief di beberapa candi di jawa tengah maupun jawa timur pada abad 9-10 masehi. preman pada masa itu kerap kali di kenal sebagai orang yang berpengaruh kuat dalam mempengaruhi idiologi dalam suatu kelompok masyarakat setempat sehingga setelah semakin berkembangnya kolonialisme di negri ini premanisme mulai di jadikan sebagai alat untuk membentengi dan menghubungkan antara pemerintahan dan juga rakyat pada masanya, akan tetapi pada era ordebaru preman bukan lagi sebagai pengayom masyarakat melainkan sebagai senjata untuk melakukan intervensi terhadap pihak yang lebih kuat kedudukannya yang menerapkan paham fasisme yang menyatakan pemerintah berpusat pada satu partai. acap kali budaya akan pemahaman yang melekat dalam tradisi masyarakat merubah idiologi pandangan preman itu sendiri. Namun sejalan berkembangnya peradaban preman di jadikan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah pribadi dalam konteks manusia antar manusia. Hal inipulalah yang menyebabkan pergeseran pemahaman dari konteks sebelumnya.

Politik, kultur dan budaya berpengaruh besar terbentuknya premanisme di negri ini, kalo di lihat dari negara-negara besar lainnya preman bukan hanya segelintir anak muda perusak fasilitas melainkan merupakan kelompok organisasi besar yang bahkan mengancam stabilitas ekonomi pemerintahan, sepertihalnya kelompok cartel di kolombia bahkan pemerintah tak mampu berbuat banyak atas merebaknya pengedaran heroin di negaranya dan tentunya kita tau bahwa ada faktor yang lebih kuat dari hanya sekedar politik, kultur, budaya, kekerabatan atapun family regering di mana jabatan-jabatan yang besifat penting hanya dapat di duduki oleh golongan sedarah sehingga timbul struktur-struktur sel dalam pembentukan kelompok yang berpengaruh kuat atas suatu golongan tertentu. Sebagai contoh yakuza di jepang kini kelompok tersebut sudah melebarkan sayapnya di benua asia bahkan amerika dalam hal heroin, aluisitas, penggelapan maupun penyelundupan. Sebelum semuanya terjadi lebih jauh sudah saatnya pemerintah membangun pondasi yang kuat dalam segi SDM karna pada dasarnya SDM yang kuat setidaknya meminimalisir tindak kriminalitas yang kerap di jadikan sebagai acuan bagi para pelaku kriminal mengatasnamakan kemiskinan. Terlebih ketika konflik horizontal yang di timbulkan sekelompok organisasi, hanya karna batas lahan kekuasaan mematikan demokrasi yang katanya menyatukan perbedaan. Banyak di antara sekian organisasi masa justru malah memanfaatkan momentum kekuatan massa sebagai wadah untuk mengintervensi pihak-pihak minoritas, sebagai contoh ketika sekelompok agama mayoritas yang merusak fasilitas peribadatan agama minoritas, dan ketika sekelompok pemuda terlibat pertikaian antara pemuda dengan suku yang berbeda. Dengan begitu Pantaskah organisasi masa di sebut sebagai pengayom pembinaan masyarakat? atau justru  lebih di katakan sebagai organisasi massa yang melahirkan bandit-bandit yang sewaktu-waktu memecahkan NKRI kita?, memang terasa sensitif bila kita menyangkut pautkannya dengan sekelompok parpol, terlebih ketika kian maraknya para parpol yang memanfaatkan keberadaanya untuk memperkuat citra publik atas dasar kekuasaan dan kekuatan massa. Bahkan lebih dari itu ada yang menyatakan bawa partai parpol melahirkan orang-orang ekstrimis di dalamnya, tidak lagi menggunakan pakaian seadanya justru satu bandit dengan berkulitkan harta dan jabatan itu yang lebih berbahaya ke timbang puluhan preman-preman jalanan yang membutuhkan bembinaan dan pekerjaan layak dengan begitu haruskah kita menjaring tiap tahunnya puluhan atau ratausan warga masyarakat di negrinya sendiri?, sedangkan faktanya para elit penggeraknya tengah asik berada di kursi mewah dengan meja judi di depannya tanpa terjamak hukum sedikitpun, rasanya ketika hukum mulai di perjual belikan dan merupakan ajang dari bagian tawar menawar harga dengan begitu masyarakatpun semakin sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilanpun kian pupus ketika di temukan adanya permainan sistimatis yang di perankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia peradilan.
dengan begitu haruskah kita menjadi bangsa yang  terjajah di negri sendiri, sudah saatnya kita tingkatkan SDM kita, tentunya dengan memerangi para elit-elit politik yang menyimpang dan bersembunyi di balik pangkat, tahta maupun jabatan yang sebenarnya tak ada kontribusi yang jelas ketika di pertanyakan tanggung jawabnya sebagai anggota dewan.
negara ini adalah negara demokrasi wajar saja ketika orang mulai bertangan dingin ketika bandit-bandit kelas teri di nyatakan tertangkap dan hukum hanya bisa di sentuh oleh orang-orang yang tak memiliki kekuasaan mutlak dalam memerankan parodi politik di negrinya. 

No comments:

Post a Comment